Penataan Kawasan Kantor Gubernur Jambi yang Tidak Bermoral : Menghapus Jejak Pahlawan dan Menghamburkan Uang Rakyat

Proyek penataan kawasan Kantor Gubernur Jambi yang menelan biaya hingga Rp. 4,3 miliar kini menuai sorotan tajam dari masyarakat. Bukan hanya karena nilai proyeknya yang fantastis di tengah kondisi ekonomi daerah yang masih banyak membutuhkan perhatian, tetapi juga karena tindakan penghilangan patung Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin — simbol kebanggaan dan perjuangan rakyat Jambi.

Patung Sultan Thaha bukan sekadar hiasan taman. Ia dibangun oleh gubernur sebelumnya sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa pahlawan besar asal Jambi yang dengan gagah berani menentang penjajahan Belanda. Patung itu adalah pengingat sejarah, penanda identitas, dan lambang semangat perjuangan anak negeri.

Namun kini, dengan alasan “penataan kawasan”, simbol kebanggaan itu justru dihilangkan. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar tentang moralitas dan sensitivitas pemerintah daerah terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan. Bagaimana mungkin sebuah proyek yang mengatasnamakan pembangunan justru menghapus jejak perjuangan pahlawan?

Lebih ironis lagi, proyek bernilai miliaran ini dilaksanakan tanpa transparansi yang jelas kepada publik. Nilai Rp. 4,3 miliar bukan jumlah kecil bagi kas daerah. Sementara banyak fasilitas publik lain yang lebih membutuhkan perhatian, pemerintah justru memprioritaskan proyek estetika yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas.

Tindakan menghapus patung Sultan Thaha bukan sekadar kesalahan teknis tata ruang — tetapi luka moral bagi masyarakat Jambi. Ini menunjukkan betapa mudahnya simbol-simbol sejarah dan penghargaan terhadap pahlawan dikorbankan demi kepentingan proyek fisik yang belum tentu bermanfaat secara sosial maupun budaya.

Pemerintah daerah seharusnya menghormati warisan pendahulu, bukan menghapusnya. Pembangunan sejati bukan hanya soal bangunan megah dan halaman kantor yang rapi, melainkan juga tentang melestarikan nilai, menghargai sejarah, dan membangun karakter masyarakat.

Rakyat Jambi berhak menuntut kejelasan:

Mengapa patung Sultan Thaha dihapus ?

Apa urgensi penataan senilai Rp4,3 miliar itu ?

Siapa yang diuntungkan dari proyek ini?

Selama pertanyaan-pertanyaan itu belum dijawab, proyek “penataan” ini pantas disebut bukan sebagai bentuk pembangunan — melainkan tindakan yang tidak bermoral dan tidak berjiwa sejarah.

Penulis M. Sanusi, S.Ag,.M.H
Founder LKPDnD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *