Mejapublik.com Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Moch. Imam Djauhari yang merupakan Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung tidak memiliki kedudukan hukum untuk menguji Pasal 53 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 78/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini digelar pada Kamis (29/8/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan untuk dapat diangkat menjadi perangkat desa, seorang warga negara harus berusia minimum 20 (dua puluh) tahun sampai berusia maksimum 42 (empat puluh dua) tahun. Batasan tersebut dinyatakan dalam norma Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 3/2024). Artinya, jelas Saldi, dengan merujuk pada batas usia minimum tersebut, Pemohon tidak terhalangi hak konstitusionalnya untuk menjadi perangkat desa.

Dalam hal ini, anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon atau potensi kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon tidak tergambar secara jelas dan tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan berlakunya norma Pasal 53 ayat (2) huruf a UU 6/2014. Kendati benar Pemohon mengalami kerugian hak konstitusional, dengan menyatakan norma Pasal 53 ayat (2) huruf a UU 6/2014 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, menurut Mahkamah akan berakibat pada kerugian hak konstitusional Pemohon.

Sebab telah hilangnya kepastian hukum batas usia maksimum untuk menjadi perangkat desa. Dengan demikian, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

“Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; Pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan perkara ini.

Sebelumnya, Pemohon menyebutkan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Desa dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945, utamanya Pasal 1 ayat (3); Pasal 28C ayat (2); Pasal 28D ayat (1), ayat (2), ayat (3); Pasal 28H ayat (2); dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam pandangan Pemohon, ia dirugikan dengan pasal a quo karena sulit untuk menjadi perangkat desa, bahkan untuk ikut andil dalam membangun masyarakat di desanya akibat masa jabatan perangkat desa yang tidak diatur dengan jelas. Menurut Pemohon, penyelenggaraan pemerintahan desa dapat dikatakan sebagai miniatur negara Indonesia, sehingga desa dapat saja menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan. Oleh karenanya, sistem pemerintahan dapat dibuat mirip dengan sistem pemerintahan pusat.

Dengan tidak diaturnya masa jabatan perangkat desa secara spesifik tersebut, memungkinkan perangkat desa dapat menjabat seumur hidup. Selain itu akan muncul masalah lain berupa ketidakseimbangan kekuasaan karena tidak dibatasi sehingga dapat menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan antara perangkat desa dan kepala desa itu sendiri. Hal ini kemudian dapat menghambat dan bahkan mengganggu kinerja kepala desa serta menimbulkan senioritas karena perangkat desa yang lebih tua dan menjabat lebih lama daripada kepala desa berikutnya (baru). (*) Sumber : mkri.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *